Over 10 years we help companies reach their financial and branding goals. Engitech is a values-driven technology agency dedicated.

Gallery

Contacts

411 University St, Seattle, USA

engitech@oceanthemes.net

+1 -800-456-478-23

News and Events

Jakarta, Kamis 20 Juni 2024 – Dalam rangka memperingati Hari Pengungsi Sedunia 2024, Perkumpulan SUAKA dan Jesuit Refugee Service (JRS) Indonesia mengadakan diskusi publik bertajuk “Mendukung Well-Being Pengungsi Luar Negeri Menuju Resiliensi”. Acara berlangsung di Ruang HB Jassin, Perpustakaan Jakarta, Taman Ismail Marzuki, dengan menghadirkan sejumlah pakar yang membahas berbagai tantangan serta solusi terkait kesehatan mental pengungsi.

Pengungsi, mereka yang dipaksa meninggalkan rumah dan tanah airnya karena konflik, kekerasan, atau bencana alam, seringkali menghadapi berbagai trauma dan kesulitan yang berdampak signifikan pada kesehatan mental mereka. Pengalaman traumatis seperti penganiayaan, kehilangan orang yang dicintai, dan kondisi hidup yang tidak menentu dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan mental, termasuk depresi, kecemasan, gangguan stres pasca-trauma (PTSD), dan bahkan bunuh diri.

Diskusi ini dimulai pada pukul 13:00 WIB dengan paparan dari ibu Dessy Susanty dari University of New South Wales (UNSW), yang menjelaskan hasil penelitian kolaboratif antara UNSW, SUAKA, Universitas Gadjah Mada, dan Refugee Learning Nest. Ia mengungkap bahwa pengungsi menghadapi lima sumber stres utama: ketidakmampuan untuk bekerja, ketidakpastian status visa, kekurangan dana untuk kebutuhan sehari-hari, ketakutan akan deportasi, dan kesulitan mengakses pendidikan. 

“Lebih dari 80% partisipan penelitian menyatakan bahwa faktor-faktor ini sangat mengganggu mereka,” ujar ibu Dessy.

Menyoroti masalah ini, Dr. Yohana Ratrin Hestyanti dari Pusat Ketangguhan dan Pembangunan Keluarga Unika Atmajaya mengidentifikasi hambatan-hambatan yang menghalangi pengungsi dalam memulihkan kesehatan mental mereka, termasuk rendahnya kesadaran tentang kesehatan mental, keterbatasan akses ke layanan kesehatan, hambatan bahasa, dan kurangnya komunitas untuk bersosialisasi. 

Oleh karena itu, Dr. Yohanna memaparkan langkah-langkah yang tepat, misalnya dengan melakukan Pendampingan Psikososial berbasis Psikologi Positif. Menggunakan metode seperti journaling dan refleksi positif, dapat membantu pengungsi fokus pada hal-hal baik di tengah situasi sulit. Dengan workbook berwarna dan quotes inspiratif, program ini dirancang untuk memberikan dukungan psikologis yang lebih mudah diakses dan menyenangkan.

Sementara itu, Widya Gunawan dari Lifespring Counselling and Care Center menekankan pentingnya menjaga kesehatan fisik dan mental melalui mindfulness, regulasi emosi, dan koneksi sosial. “Mindfulness dapat menurunkan stres, kecemasan, dan meningkatkan kemampuan untuk mengatasi rasa sakit serta meningkatkan welas asih,” jelas Widya. Ia juga menyarankan aktivitas fisik seperti olahraga, nutrisi yang baik, tidur yang cukup, dan kontak fisik yang sehat sebagai bagian dari dukungan kesehatan mental.

Acara yang berlangsung selama kurang lebih tiga jam ini merefleksikan pentingnya peran publik dalam mendukung kesejahteraan pengungsi di Indonesia. Sebagai rumah bagi lebih dari 12.000 pengungsi dari berbagai negara asal, hal ini perlu menjadi perhatian baik warga maupun negara. Dengan berbagai program dan intervensi yang telah dirancang, para pengungsi diharapkan dapat mencapai resiliensi dan meningkatkan kualitas hidup mereka di tanah air yang baru. SUAKA dan JRS berharap acara ini dapat meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya dukungan bagi pengungsi dan menginspirasi lebih banyak aksi nyata untuk membantu mereka meraih kehidupan yang lebih baik.

for English version of the report, click pdf file below

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

slot777

slot gacor

slot online

ligamaster77