(Jakarta, 25 April 2024) Lebih dari 12.000 pengungsi saat ini menjadikan Indonesia sebagai tempat penerima suaka. Komunitas pengungsi di Indonesia tersebar dari beberapa negara asal seperti Afghanistan, Somalia, Myanmar, dan lain-lain. Ragam kenegaraan tersebut membentuk sebuah komunitas dengan ragam budaya, bahasa, dan latar belakang lainnya. Keragaman tersebut, datang dengan warna baru bagi dinamika sosial termasuk dengan kerentanan hukum yang meliputinya.
Komunitas pengungsi dengan perbedaan latar belakang tersebut menciptakan adanya perbedaan bahasa sebagai tembok besar dalam upaya komunikasi dan keberlanjutan dinamika jangka panjang dengan komunitas lokal. Tantangan besar ini kemudian menimbulkan potensi adanya permasalahan hukum dengan komunitas lokal dan sulitnya mendapatkan keadilan melalui akses hukum yang tersedia. Selain itu, kerentanan hukum yang dimiliki pengungsi juga terbentuk karena minimnya pengetahuan akan hukum yang berlaku di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan kerentanan bahasa karena ketiadaan hukum tertulis dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa asli pengungsi. Ketidaktahuan akan hukum kemudian berlanjut hingga minimnya pengetahuan akan mekanisme perlindungan hukum yang tersedia sehingga berbuah pada minimnya pemenuhan akses terhadap keadilan.
SUAKA mencatat cukup banyaknya permasalahan hukum terjadi selama kurun waktu kebelakang. Pada 2021, SUAKA mencatat adanya 89 aduan permasalahan hukum, 118 aduan permasalahan hukum pada 2022, dan 89 kasus diadukan kepada SUAKA pada tahun 2023. Jumlah ini menunjukan cukup rentannya pengungsi dalam terlibat pada sebuah permasalahan hukum dalam beberapa topik permasalahan hukum. Topik permasalahan hukum tersebut teridentifikasi sebagai permasalahan hukum terkait dengan proses penentuan status pengungsi, implementasi atau pelanggaran hukum nasional, serta permasalahan hukum yang berkaitan dengan pelanggaran HAM.
Permasalahan hukum yang dialami oleh komunitas pengungsi diikuti dengan jumlah ketersediaan organisasi atau penyedia layanan bantuan hukum bagi komunitas. Baik dari segi kebijakan yang tidak memasukan kerentanan hukum dan kategorisasi pengungsi sebagai penerima bantuan hukum dalam UU No. 16 Tahun 2011 Tentang Bantuan Hukum, hingga terbatasnya sumber daya dan kapasitas penyedia bantuan hukum dalam asistensi bagi komunitas pengungsi. Oleh karenanya, pendekatan berbasis komunitas diikuti dengan kemandirian komunitas dalam penggunaan hukum untuk melindungi haknya menjadi penting. Dalam hal ini, pemberdayaan hukum menjadi upaya utama dalam mewujudkan hal tersebut.
Sebagai upaya sistematis, SUAKA telah merancang dan melaksanakan tiga angkatan pelatihan paralegal tingkat dasar pada tahun 2019, 2020, dan 2022. Melalui tiga angkatan pelatihan tersebut, terdapat 45 perwakilan pengungsi dari ragam komunitas yang mengikuti pelatihan dan kembali ke komunitas dengan mengemban peran sebagai paralegal berbasis komunitas. Konteks keparalegalan dalam hal ini, mengedepankan implementasi dan pengembanan peran dalam pemberdayaan hukum, di tengah adanya hambatan administrasi untuk menyematkan status paralegal menurut sistem hukum di Indonesia yang mengharuskan paralegal berkewarganegaraan Indonesia. Pelatihan paralegal tingkat dasar berhasil memberikan pengertian dasar terkait dengan hukum, HAM, konsep dasar dan peran paralegal berbasis komunitas, serta hal-hal tingkat dasar dan teoritis lainnya.
Berbekal pengalaman dasar tersebut, telah terdapat praktik-praktik baik pendampingan dan pemberdayaan hukum pada komunitas. Hal ini termuat dengan adanya praktik asistensi pelaporan polisi oleh paralegal, korespondensi dengan otoritas terkait dalam penanganan kasus, serta penanganan kasus pada tahapan dasar lainnya. Meski begitu, terdapat evaluasi soal kebutuhan peningkatan kapasitas paralegal dengan hal-hal yang lebih praktis dan spesifik.
Oleh karenanya, pada 29-31 Januari 2024 lalu SUAKA melaksanakan pelatihan paralegal tingkat lanjutan di Jakarta. Pelatihan paralegal tingkat lanjut memberikan pemahaman lanjutan kepada alumni pelatihan paralegal tingkat dasar terkait dengan perspektif gender dalam penanganan kasus, prinsip-prinsip kunci dalam penanganan kasus, korespondensi hukum, advokasi, serta kampanye isu-isu komunitas. Terdapat 15 alumni pelatihan paralegal tingkat dasar yang berhasil mengikuti pelatihan tingkat lanjutan.
“Pelatihan paralegal menjadi wadah bertukar pikiran, pengembangan kapasitas lanjutan, serta upaya struktural peningkatan kemandirian komunitas dalam perlindungan hukum. Harapannya, paralegal berbasis komunitas dapat kembali ke komunitas dan menjadi aktor penting dalam pemberdayaan hukum secara struktural.” Tambah Atika Yuanita, Ketua Perkumpulan SUAKA.
Upaya pemberdayaan hukum adalah upaya struktural jangka panjang yang membutuhkan periode berkelanjutan untuk mencapai tingkat keberdayaan yang komprehensif. Oleh karenanya, pelatihan paralegal tingkat lanjutan menjadi upaya melanjutkan pemberdayaan hukum tersebut. Kedepannya, pelatihan paralegal tingkat lanjutan akan terus dilakukan seiring dengan pertumbuhan angka komunitas pengungsi serta berubahnya dinamika komunitas pengungsi sejalan dengan proses resettlement dan solusi komprehensif lainnya.
for english version of the report, please refer to this document