Over 10 years we help companies reach their financial and branding goals. Engitech is a values-driven technology agency dedicated.

Gallery

Contacts

411 University St, Seattle, USA

engitech@oceanthemes.net

+1 -800-456-478-23

Media Release
press release suaka indonesia

SUAKA dengan tegas menolak pemindahan warga Gaza ke Indonesia dalam skema evakuasi yang telah direncanakan oleh pemerintah Indonesia. Kendati didasarkan pada gagasan kemanusiaan untuk mengevakuasi korban kekerasan, rencana pemindahan warga tersebut berpotensi mendorong legitimasi terhadap genosida dan penjajahan yang dilakukan oleh Israel atas Palestina. Lebih lanjut, Indonesia belum dapat menjamin kepastian regulasi dan mekanisme perlindungan pengungsi, dengan adanya keterbatasan kerangka hukum penanganan pengungsi di Indonesia yang dapat mengaburkan status hukum pengungsi Palestina nantinya. 

Pada 9 April 2025, Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, menyatakan bahwa Indonesia siap menerima korban luka, trauma, dan anak yatim-piatu dari Gaza. Gelombang evakuasi pertama dikatakan akan membawa sebanyak 1.000 warga Gaza, dengan catatan bahwa seluruh warga Gaza hanya akan sementara berada di Indonesia hingga pulih dan harus kembali ke Gaza ketika kondisi memungkinkan. Gagasan mengenai evakuasi warga Gaza tersebut ditelusuri telah dinyatakannya sejak Juni 2024 dalam Dialog Shangri-La di Singapura dan Konferensi Tingkat Tinggi terkait Gaza di Amman, Jordania. 

Dalam perkembangan isu pemindahan warga Gaza, beberapa media telah mendokumentasikan peristiwa rencana relokasi warga Gaza ke Indonesia yang didiskusikan oleh Amerika Serikat pada Januari 2025 dan skema migrasi warga Palestina dari Jalur Gaza ke Indonesia pada Maret 2025. Kedua pemberitaan tersebut telah dibantah oleh Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia dengan pernyataan bahwa pemerintah Indonesia tidak pernah menerima informasi dan membahas skema relokasi dengan pihak manapun. Pada 27 Maret 2025, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Rolliansyah Soemirat, menyatakan bahwa prioritas Indonesia saat ini adalah mendorong perdamaian, mendukung bantuan kemanusiaan, dam memastikan rekonstruksi di Gaza. 

Namun, pada 10 April 2025, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Sugiono, menunjukkan kelanjutan gagasan evakuasi warga Gaza dengan penegasannya terhadap sifat penampungan warga Palestina di Indonesia yang tidaklah permanen dan bagaimana Indonesia sedang berupaya untuk berkonsultasi dengan berbagai negara, terutama pemerintah Palestina, dalam memastikan kepentingan rakyat Palestina dan mendapatkan dukungan dari negara-negara di kawasan. Meskipun telah terdapat penekanan terhadap tujuan evakuasi yang bukan mendorong relokasi warga Gaza, SUAKA mencatat beberapa permasalahan yang dapat ditimbulkan melalui skema evakuasi warga Gaza ke Indonesia tersebut.

Warga Gaza Memiliki Hak Untuk Menentukan Nasib Sendiri Bagi Hidupnya

SUAKA mengapresiasi niat baik pemerintah Indonesia untuk membantu masalah kemanusiaan rakyat Palestina. Namun, proses evakuasi maupun relokasi yang dilakukan tanpa adanya dialog serta konsultasi dengan komunitas masyarakat Gaza secara langsung bukan merupakan langkah kemanusiaan yang bijak. Dengan melabeli serta membawa warga Gaza menjadi pengungsi secara sepihak, pemerintah Indonesia telah melakukan fabrikasi migrasi terpaksa. Selain itu, evakuasi maupun relokasi yang dilakukan hanya akan mengakomodasi tujuan besar Israel dalam mengosongkan wilayah yang saat ini diokupasi dan sejatinya dimiliki oleh warga Gaza dan Palestina. Seluruh warga Gaza, memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri termasuk hak untuk tinggal di tanah airnya. Sehingga, upaya evakuasi maupun relokasi tanpa persetujuan serta dialog langsung dengan komunitas terdampak adalah bentuk ketidakselarasan terhadap pemenuhan hak asasi manusia secara menyeluruh. 

Salah satu pengungsi Palestina yang pernah mengungsi di Indonesia menyampaikan kekhawatirannya kepada SUAKA atas rencana pemerintah Indonesia untuk merelokasi warga Gaza secara sementara dengan dalih perawatan medis. Ia menegaskan bahwa segala bentuk relokasi yang beresiko menjadi relokasi permanen atau dilakukan tanpa persetujuan harus dikecam:

“As a Palestinian refugee, I am deeply concerned by the Indonesian government’s plan to temporarily evacuate Gazans under the guise of humanitarian medical treatment. While we welcome international solidarity and support, any relocation that risks becoming permanent or involuntary must be condemned.” 

AL, Pengungsi Palestina yang pernah tinggal di Indonesia

Selama ini, warga Gaza telah secara paksa meninggalkan tanah kelahirannya atas pendudukan dan genosida yang dilakukan oleh Israel. Di tengah kondisi tersebut, langkah pemindahan warga Gaza tidak dapat dilepaskan dari konteks pemindahan paksa yang selama ini telah terjadi dalam penjajahan atas Palestina. Konsultasi yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia tidak serta-merta dapat dianggap sebagai representasi suara warga Gaza. Oleh karena itu, alih-alih terlihat sebagai bentuk solidaritas, langkah tersebut berpotensi melegitimasi pemindahan paksa yang selama ini terjadi di Palestina. Bagi warga Gaza, Gaza adalah rumah sehingga yang mereka butuhkan bukanlah pemindahan, melainkan perlindungan dan berakhirnya pendudukan:

“Gaza is our home. What we need is protection, medical aid, and an end to the siege, not to be uprooted and displaced again. History has taught us that “temporary” solutions too often become permanent exiles. Our struggle is not just for survival, but for return, dignity, and justice.” 

AL, Pengungsi Palestina yang pernah tinggal di Indonesia

Bicara soal hak, Indonesia sendiri adalah negara yang masih memiliki kekurangan besar dalam pemenuhan HAM bagi pengungsi. Sehingga, warga Gaza yang akan dievakuasi, akan berada pada situasi dimana pemenuhan haknya tidak dapat dicapai secara penuh meski mendapatkan akses terhadap perawatan medis. Jika kemudian pemerintah memberikan pengecualian bagi warga Gaza tersebut, maka terjadi pembedaan penanganan pengungsi antara satu komunitas dengan komunitas lainnya yang telah berada di Indonesia terlebih dahulu.

Dalam beberapa kesempatan dokumentasi oleh media-media internasional, rencana relokasi serupa yang juga digaungkan oleh pemerintah Amerika Serikat telah ditentang oleh warga asli Gaza. Penolakan didasarkan posisi kritis bahwa Gaza adalah rumah yang tidak bisa ditinggalkan, dan posisi resiliensi dan perlawanan atas penjajahan yang terjadi.

Ketidakjelasan  Status Sebagai Pengungsi Serta Kaitannya dengan Kerangka Hukum Terkait Penanganan

Saat ini, tidak jelas soal status hukum yang akan diberikan bagi warga Gaza yang rencananya akan dievakuasi ke Indonesia. Dalam beberapa pemberitaan, pemerintah menggunakan kata “pengungsi” sebagai penyematan identitas secara informal. Perlu dicatat, jika pengungsi yang dimaksud adalah status pengungsi luar negeri, maka terdapat mekanisme hukum nasional dan internasional yang perlu ditaati. 

Indonesia telah memiliki mekanisme penanganan pengungsi luar negerinya sendiri. Melalui Peraturan Presiden No. 125 Tahun 2016 Tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri (“Perpres No. 125/2016”), Indonesia telah menyusun mekanisme penanganan pengungsi dari tahap awal hingga akhir. Proses evakuasi yang jika dilakukan, hanya akan memberikan praktik kepada publik bahwa pemerintah tidak menjalankan mekanisme yang dibuat oleh dirinya sendiri. Mengingat, proses evakuasi pengungsi seperti ini tidak diatur dalam mekanisme penanganan yang sudah ada. 

Selain itu, terdapat problematika soal pemberian status sebagai pengungsi. Sebagaimana telah diketahui, Indonesia memberikan mandat penentuan status kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui UNHCR Indonesia. Oleh karenanya, penetapan status pengungsi melalui mekanisme di luar dari mandat dan preseden yang ada, akan menjadi bentuk ketidakkonsistenan pemerintah dalam mandat yang diberikan serta mekanisme penanganan pengungsi yang sejatinya dilahirkan oleh Pemerintah itu sendiri. 

SUAKA juga mengkritisi soal rencana pemerintah yang akan mengembalikan pengungsi Gaza kembali ke wilayah asalnya setelah proses bantuan medis diberikan. Rencana ini adalah bentuk pelanggaran berat terhadap prinsip non-refoulement yang diakui secara universal. Sebagai catatan, berdasarkan prinsip ini, negara dilarang untuk mengembalikan pengungsi dan pencari suaka ke wilayah dimana ancaman terhadap nyawa, persekusi, dan konflik masih terjadi. Prinsip ini diakui sebagai kebiasaan internasional serta diatur sebagai bentuk penyiksaan dalam Pasal 3 Konvensi Anti Penyiksaan yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Tidak ada kejelasan makna “pulih” atau kondisi yang “memungkinkan” dalam proses pengembalian pengungsi Gaza nantinya. Langkah tersebut pada akhirnya dapat menempatkan pengungsi dalam situasi ketidakpastian dalam masa menunggu atau, bahkan, mengembalikan pengungsi dalam kondisi tidak aman pasca-evakuasi. 

Dalam konteks fenomena lahirnya migrasi paksa yang berujung pada kepengungsian, setiap individu melakukan perjalanan atas pilihan hidupnya sendiri. Rencana pemerintah menjadikan warga Gaza sebagai pengungsi, adalah bentuk fabrikasi kondisi pengungsian yang tidak sejalan dengan hukum dan HAM. Secara alami, kondisi pengungsian bukanlah kondisi ideal bagi individu manapun. Proses migrasi adalah proses yang traumatis serta penuh dengan tantangan. Rencana pemindahan warga Gaza meski dalam bentuk evakuasi dan menyematkan status mereka sebagai pengungsi adalah sebuah praktik yang tidak selaras dengan praktik internasional dan melegitimasi proses migrasi paksa yang traumatis:

“I urge the Indonesian government and the international community to prioritize supporting Palestinians in Gaza, not by removing us from it. True solidarity means standing with us as we resist erasure from our land, not facilitating it under humanitarian pretexts.” 

AL, Pengungsi Palestina yang pernah tinggal di Indonesia

Momentum Perbaikan Mekanisme Penanganan Pengungsi

Mempertimbangkan keterbatasan kerangka penanganan pengungsi Indonesia dan ketidakselarasan langkah penerimaan pengungsi Perpres No. 125/2016, SUAKA melihat situasi ini sebagai kesempatan berbenah soal mekanisme penanganan pengungsi di Indonesia. Alih-alih membuat rencana penanganan pengungsi yang berbeda dengan preseden hukum yang telah ada, pemerintah dapat memfokuskan diri pada pengembangan mekanisme yang telah ada.

Perpres No. 125/2016, adalah mekanisme peraturan yang saat ini memerlukan pembaharuan substansi. Isi-isi soal mekanisme yang ada tidak menunjukan relevansi dengan dinamika yang telah teridentifikasi di lapangan dan membutuhkan pembaharuan. Minimnya perlindungan dan pengakuan HAM dalam Perpres juga menjadi tugas besar bagi pemerintah untuk dibenahi. Melalui rilis ini, SUAKA mendorong untuk dilanjutkannya proses revisi Perpres No. 125/2016 dengan proses pelibatan publik untuk menciptakan mekanisme penanganan pengungsi yang lebih komprehensif.

Disamping itu, situasi global yang kian melahirkan migrasi massa secara besar-besaran semakin menguatkan posisi negara-negara dalam perkembangan kebijakan. Situasi di Palestina, seharusnya menjadi salah satu katalis bagi pemerintah untuk semakin menguatkan kebijakan di tingkat nasional soal penanganan pengungsi. Oleh karenanya, pembuatan kebijakan dengan level yang lebih tinggi diperlukan. SUAKA juga mendorong kehadiran kebijakan dalam level Undang-Undang untuk merespon situasi global yang kian memanas tersebut.

SUAKA menyatakan ketidaksetujuan dengan rencana ini. Orang yang bermigrasi untuk mencari suaka memang tidak bisa ditolak, namun, proses migrasi juga dilakukan dengan keputusan yang dibuat secara sadar oleh masing-masing individu. SUAKA berpihak pada rakyat Palestina dalam hal genosida yang terjadi dan mendukung posisi rakyat Palestina yang menolak dilakukannya perpindahan ke negara ketiga untuk alasan apapun,” ujar Angga Reynady, Direktur Eksekutif SUAKA.

Lebih lanjut, Atika Yuanita, Ketua Perkumpulan SUAKA menegaskan soal pentingnya pengembangan kebijakan di tingkat nasional untuk respon lebih jauh: “Kondisi global mengharuskan Indonesia untuk lebih relevan dalam penanganan pengungsi. Kebijakan berperspektif HAM harus diutamakan sembari mengambil peran lebih jauh dalam penanganan pengungsi.”

Narahubung:

Angga Reynady (081949434214)

Annabella Arawinda (085121230272)

Versi dwibahasa (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris) dari rilis media ini dapat diunduh melalui file berikut:

The bilingual (Indonesian and English) version of this press release can be downloaded from the following file:

Leave a comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *