(Jakarta, 27 November 2023) SUAKA menyuarakan kekecewaan terhadap pernyataan Bapak Hikmahanto Juwana tentang pengungsi Rohingya yang disampaikan dalam sebuah wawancara dengan Metro TV pada 20 November 2023, terutama terkait penolakan Pengungsi Rohingya di Aceh.[1]
Beberapa pernyataan yang disampaikan oleh Hikmahanto Juwana tidak sesuai dengan perspektif HAM dan kemanusiaan, khususnya dalam konteks penolakan terhadap pengungsi Rohingya. Padahal, pengungsi Rohingya merupakan orang tanpa kewarganegaraan (stateless people)[2] karena mengalami diskriminasi dan tidak diakui keberadaannya oleh Pemerintah Myanmar. Oleh karena itu, pengungsi Rohingya merupakan korban kejahatan kemanusiaan dan berhak mendapatkan perlindungan masyarakat internasional.
Pertama-tama, SUAKA menyayangkan pernyataan bahwa menampung Rohingya menjadi beban bagi pemerintah daerah. Hal ini tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Presiden No. 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Dari Luar Negeri (Perpres 125/2016) khususnya pada bagian penampungan. Hal ini sebagaimana tercantum dalam Pasal 24 ayat (1) yang memandatkan adanya koordinasi penampungan pengungsi antara Rumah Detensi Imigrasi dan pemerintah daerah kabupaten/kota. Selanjutnya, dipertegas dalam Pasal 26 ayat (1) yang memberikan kewajiban bagi pemerintah daerah kabupaten/kota untuk menentukan tempat penampungan bagi pengungsi.
Perpres 125/2016 juga menekankan fungsi Organisasi Internasional di bidang kepengungsian dalam membantu Indonesia menangani pengungsi di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa penutupan Organisasi Internasional di Indonesia bukan sebuah jawaban akhir penyelesaian isu pengungsi.
SUAKA juga menyayangkan pernyataan yang berkaitan dengan narasi untuk memulangkan pengungsi Rohingya ke negara asal, Myanmar. Padahal, pengungsi Rohingya tidak bisa kembali ke Myanmar karena ada resiko-resiko fatal. Dialog-dialog tingkat regional (ASEAN) pun belum berhasil membuahkan kesepakatan tentang skema pemulangan pengungsi Rohingya yang aman ke Myanmar. Kedatangan pengungsi Rohingya di perairan Aceh merupakan bentuk permintaan perlindungan yang spesifik dan masyarakat internasional telah mengenal adanya penerapan prinsip non-refoulement. Prinsip ini merupakan kebiasaan hukum internasional yang mengikat bagi seluruh subjek hukum. Non-refoulement juga merupakan bentuk perlindungan HAM bagi setiap manusia untuk terbebas dari segala bentuk penyiksaan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Konvensi Anti Penyiksaan yang telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang No. 5 Tahun 1998.
Dalam konteks kedatangan kapal pengungsi Rohingya, Indonesia juga memiliki kewajiban untuk melakukan penyelamatan bagi kapal dalam keadaan darurat pada Pasal 98 ayat (1) Konvensi Hukum Laut/United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS). Selanjutnya, Pasal 98 ayat (2) UNCLOS juga memberikan kewajiban bagi negara-negara untuk melakukan operasi pencarian dan penyelamatan di laut khususnya yang berkaitan dengan keamanan kapal. Sebagai catatan, Indonesia telah menjadi negara peratifikasi UNCLOS yang tertera dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 1985. Pelaksanaan kewajiban negara berdasarkan UNCLOS dapat menjadi bentuk komitmen nyata pemerintah Indonesia dalam perlindungan HAM dan implementasi kemanusiaan bagi pengungsi Rohingya.
SUAKA mengapresiasi upaya-upaya pemerintah Indonesia, terutama pemerintah daerah Aceh yang tetap melaksanakan tugas sesuai dengan mandat Perpres 125/2016, norma-norma kemanusiaan, dan hukum internasional yang berlaku meskipun Indonesia bukan negara peratifikasi Konvensi Pengungsi 1951.
Atika Yuanita selaku Ketua SUAKA menyatakan: “Sesuai dengan kondisi pengungsi Rohingya dan kerentanan yang meliputinya, pendekatan berbasis HAM dan pelaksanaan implementasi Perpres Tahun 2016 harus ditegakan”. Lebih jauh, Atika menambahkan “Terutama dalam hal penanganan pengungsi, narasi seperti ini dapat menjadi legitimasi adanya penolakan lebih jauh terhadap kedatangan pengungsi oleh negara dan penanganan yang tidak berbasis perlindungan, pemenuhan, dan penghormatan HAM”.
Sebagaimana disampaikan oleh Pelaksana Tugas Gubernur Aceh saat ini melalui kanal youtube Metro TV: “tentunya secara kemanusiaan, ini kan urusannya kemanusiaan. ada waktunya, kemudian nanti SOP nya akan diatur lagi”[3]. SUAKA berharap pemerintah Indonesia baik di pusat maupun daerah dapat terus bekerja sama dengan berbagai pihak seperti UNHCR Indonesia dalam mengedepankan pendekatan kemanusiaan serta pengambilan keputusan untuk penanganan pengungsi dan penyelesaian masalah-masalah kemanusiaan yang menjunjung hak asasi manusia. Lebih lanjut lagi, SUAKA berharap pemerintah Indonesia dapat terus menunjukkan kepemimpinannya dalam membangun dialog untuk penyelesaian isu-isu kemanusiaan di kawasan Asia Tenggara melalui usaha diplomasi perdamaian dan strategis berbentuk kerjasama bilateral maupun multilateral seperti ASEAN.
Narahubung:
Jayanti Aarnee K (+62)89-882-546-58
Atika Yuanita P (+62)813-8339-9078
[1] Metro TV, Youtube. https://youtu.be/E-3TYlw4PyE?si=WESI5gr7-mK2bWmD
[2] Mengutip Laporan Tim Pencari Fakta PBB Untuk Myanmar, yang pada saat itu diketuai oleh Marzuki Darusman dalam Report of the Independent International Fact-Finding Mission on Myanmar, A/HCR/39/64/, 2018, hlm. 6, para. 21, https://www.ohchr.org/sites/default/files/Documents/HRBodies/HRCouncil/FFM-Myanmar/A_HRC_39_64.pdf.
[3] Metro TV, Youtube. https://youtu.be/LzKjGWPK9OQ?feature=shared